SUAKA MARGASATWA KATERI
oleh Yusuf Gunawan, S.Hut
(Penyuluh Kehutanan Pertama)
KONDISI UMUM
A. LETAK
DAN BATAS
Kawasan
Suaka Margasatwa(SM) Kateri terletak di Kabupaten Belu, diliputi oleh 3(tiga)
wilayah kecamatan dengan jumlah desa yang berbatasan berjumlah 9(Sembilan) desa
Yaitu :
1. Kecamatan Malaka Tengah
- Desa Kateri
- Desa Umakatahan
- Desa Wehali
- Desa Kamanasa
- Desa Bakiruk
- Desa Barada
- Desa Umanen Lawalu
2. Kecamatan Kobalima ; Desa Lakeun
Barat
3. Kecamatan Sasi Tamean ; Desa Kareana
Batas-batas
kawasan adalah sebagai berikut :
- Utara : Desa Kateri dan Desa Barada
- Selatan : Desa Kareana
- Barat : Desa Bakiruk
- Timur : Desa Wehali, Kamanasa, Lakeun Utara
B. NILAI
PENTING KAWASAN
SM.
Kateri merupakan habitat satwa liar antara lain ; Rusa Timor (Cervus timorensis, dilindungi), Kus-kus
(Phalanger orientalis, dilindungi), Biawak Timor (Varanus timorensis, dilindungi),
Monyet ekor Panjang (Macaca sp), dan berbagai macam jenis aves. Disamping itu
mengingat letaknya serta kondisi dahulu yang merupakan hutan primer dengan
berbagai macam jenis pohon, dapat berfungsi untuk pengaturan tata air,
pencegahan bahaya banjir, dan tanah longsor. Tipe vegetasi di dalam kawasan SM.
Kateri terdiri atas hutan alam, hutan campuran, hutan tanaman jati dan semak
belukar yang ditumbuhi oleh jenis-jenis : Jati (Tectona grandis), Kesambi
(Schleichera oleosa), Gewang (Corypha gebanga), Asam (Tamarindus indica), Bambu
(Bambusa sp) dan lain-lain. Hal-hal tersebut penting sebagai wilayah pengawetan
keanekaragaman satwa dan tumbuhan liar serta penyangga kehidupan.
C. KRONOLOGIS
PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN KATERI
Kronologis
pengelolaan kawasan hutan SM. Kateri bisa dibedakan menjadi 4(empat ) fase (
BKSDA NTT I, 2005) :
1. Fase pertama adalah masa pemerintahan
raja-raja atau sebelum masa penjajahan Belanda.
Pada
masa pemerintahan raja-raja, kawasan hutan Kateru (pada waktu itu bernama
Bakiruk) dikuasai oleh suku-suku. Kawasan hutan ini bdibagi menjadi 2(dua)
wilayah yaitu Kateri dan Sulit (Kereana). Suku yang berkuasa adalah Berai dab
Betema untuk wilayah Kateri, sedangkan Lanain dan Maktaen untuk wilayah Sulit.
Keempat suku tersebut bersatu padu dalam menjaga hutan karena ada hubungan
kekeluargaan diantara mereka. Leluhur masyarakat Kateri (Bufflak) menikah
dengan leluhur masyarakat Sulit (MaukiaA). Untuk menjaga kawasan hutan, para
Raja (nain) dan Fukun menunjuk seorang Kapitan. Kapitan dibantu oleh para
Makleat. Kapitan dan para makleat ini menjaga hutan dan menegakkan aturan/hukum
adat pengelolaan hutan. Masyarakat dilarang untuk masuk hutan dan mengambil
apapun yang ada di dalam kawasan hutan. Pada saat itu hasil hutan yang sangat
dijaga adalah Cendana, kayu kuning dan lebah madu. Disamping menjaga hasil huta
tersebut juga ada larangan terhadap perburuan liar satwa yang ada di kawasan
hutan. Jenis satwa yang sangat dominan pada saat itu adalah musang, kus-kus dan
monyet. Kawasan hutan Kateri sangat dijaga oleh masyarakat karena merupakan
tempat upacara adat bagi masyarakat. Ada 10(sepuluh) tempat upacara adat
dikawasan hutan Kateri yaitu : Marlilu,
Natarlese, Barada, Buffitok, dan UmafaUk diwilayak Kateri sedangkan Betun Kiak,
Wesedok, Haffiallan, Takabikan, dan
Maubesi, Ulun We Tboulun diwilayah Sulit.
Apabila
masyarakat akan mengambil atau memanfaatkan hasil hutan tersebut, harus
mendapat ijin terlebih dahulu dari kapitan. Bagi yang melanggar aturan adat
tersebut dikenakan denda berupa sapi/kerbau 1(satu) ekor, uang 50(lima puluh) perak, dan minuman
keras (sopi) 1(satu) gud.
2. Fase kedua adalah pada masa
pemerintahan Belanda
Pada
masa pemerintahan Belanda dilakukan tata batas terhadap kawasan hutan Kateri
dan batas dibuat dari tumpukan batu. Pemerintah Belanda menunjuk kawasan hutan
Kateri menjadi hutan larangan melalui Surat Keputusan W. BER. 23-7-1931 No.
5,RB. 20-8-1938 No. 104/LK. Masyarakat dilarang mengolah lahan melewati batas
yang sudah dibuat dan dilarang mengambil hasil hutan seperti pada masa
pemerintahan raja-raja. Pemerintah Belanda mengangkat petugas kehutanan yang
disebut Obseter yang dibantu oleh
para Poswesi. Pada saat itu petugas
adat yaitu Kapitan dan makleat tetap melakukan tugasnya sesuai
aturan adat yang sudah berlaku. Aturan pengelolaan hutan diberlakukan dua macam
yaitu aturan pemerintahan Belanda dan aturan adat.
3. Fase Ketiga adalah pada masa
pemerintahan Jepang
Pada
masa penjajahan Jepang, pengelolaan hutan tidak diberlakukan. Jepang membuka
kawasan hutan untuk akses transportasi. Masyarakat tidak memberlakukan aturan
adat karena takut terhadap Jepang. Pada saat itu masyarakat hanya dipaksa untuk
melakukan kerja rodi. Pengelolaan hutan tidak diperhatikan.
4. Fase keempat adalah masa
kemerdekaan(Pemerintahan RI)
Pada fase
ini pemerintah mengelola hutan Kateri dan menunjuk kawasan tersebut sebagai
hutan lindung. Kegiatan yang dilakukan pada masa itu adalah berupa reboisasi
dengan tanaman jati. Aturan adat dalam pengelolaan hutan tetap diberlakukanoleh
masyarakat.
Pada tahun 1981 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian
Nomor : 94/Kpts/Um/5/1981, tanggal 7 Mei 1981, kawasanan hutan Kateri ditunjuk
menjadi Suaka Margasatwa dengan dengan luas ± 4.560 Hektar. Dari hasil tata
batas yang dilakukan oleh Balai Planologi Kehutanan IV Nusa Tenggara, diketahui
bahwa luas kawasan hutan Kateri adalah 4 699,32 Ha yang terdiri dari Suaka
Margasatwa seluas 3.299, 20 Ha dan hutan produksi/lindung seluas 1.400, 12
hektar. Dalam kegiatan Pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan dengan RTRWP
yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur NTT Nomor : 64 Tahun 1996 ditetapkan
kawasan hutan Kateri sebagai Syaka Margasatwa dengan luas 4.699,32 Ha. Keputusan penunjukan tersebut diperkuat
dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 423/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan
Kawasan Hutan dan Perairan di Nusa Tenggara Timur.
Hingga
saat ini, Pengelolaan kawasan hutan Kateri dilaksanakan oleh Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur. Sebagai perpanjangan tangan
dari Balai Besar KSDA NTT, ditempatkan Seksi Konservasi Wilayah I yang
berkedudukan di Atambua, membawahi Resort Konservasi SM. Kateri dan CA.
Maubesi. Pada Resort Konservasi Wilayah
SM. Kateri di Betun ditempatkan 2(dua) orang personil.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.02/Menhut-II/2007, tanggal 1 Pebruari
2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam, Bidang KSDA Wilayah I
secara structural bertanggungjawab kepada Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur,
dengan wilayah kerja secara administrasi pemerintahan meliputi daratan Pulau
Timor Bagian Barat, Pulau Sumba, Pulau Rote, Pulau Sabu dan beberapa pulau
kecil lainnya.
Bidang
KSDA Wilayah I juga membawahi 2(dua)
Seksi Konservasi Wilayah Yaitu :
- Seksi Konservasi Wilayah I, berkadudukan di Atambua dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
- Seksi Konservasi Wilayah II, berkedudukan di Camplong dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Sabu, Kab. Sumba Timur, Kab. Sumba Tengah, Kab. Sumba Barat dan Kab. Sumba Barat Daya.
PERMASALAHAN
A. KRONOLOGIS
TERJADINYA PERAMBAHAN
- Adanya jajak pendapat di Timor Timur pada tahun 1999, dimana mayoritas penduduk Timor Timur memilih merdeka yang menimbulkan eksodus warga pro integrasi ke wilayah Timor Barat. Pada awalnya mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian antara lain pada wilayah hilir sungai Benenain. Namun akibat terjadinya banjir bandang, masyarakat mencari tempat yang lebih aman dimana salah satu imbasnya mengakibatkan dirambahnya kawasan SM. Kateri. Pada puncaknya, jumlah perambah mencapai 1.560 orang dengan 295 buah pondok. (Data Seksi Konservasi Wilayah II Atambua).
- Perambahan/penebangan di dalam kawasan dilakukan guna memperoleh bahan bangunan berupa kayu, bambu, daun gewang dan lain-lain serta sebagai lahan pertanian. Keadaan semakin parah akibat dihentikannya seluruh bantuan kepada pengungsi.
- Perambahan tersebut hingga bulan Oktober 2002 mencapai tingkat yang sangat mengkwatirkan dimana luas kawasan yang telah dirambah khususnya dalam kawasan SM. Kateri adalah 1.147, 84 hektar. Selain dibuka untuk lahan pertanian, di dalam kawasan juga dibangun perumahan liar.
- Secara visual, kawasan yang dulunya merupakan hutan lebat, saat itu hingga kini menjadi gundul dan kosong. Nilai kerugian sangat sulit diukur secara financial mengingat obyek yang dirusak bukan hanya nilai kayu secara fisik namun meliputi hilangnya fungsi-fungsi kawasan. Dengan dibukanya kawasan (ditebas, dibakar dan dijadikan areal pertanian), fungsi kawasan SM. Kateri sebagai habitat satwa liar, perlindungan sistim penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar menjadi berkurang dan tidak dapat berjalan secara optimal. Fungsi kawasan sebagai daerah resapan air, pencipta iklim mikro dan penghasil oksigen juga mengalami gangguan.
B. UPAYA
PENYELESAIAN MASALAH
Upaya khusus terkait
dengan permasalahan perambahan yang telah dilakukan antara lain :
1.
Pada
awal terjadinya perambahan, upaya untuk memonitor serta mencegah terjadinya
kerusakan akibat perambahan terus dilakukan. Namun mengingat upaya pendekatan
secara persuasif tidak bisa berhasil, bahkan petugas dilapangan justru menerima
ancaman dari para pelaku perambahan, upaya ini tidak dapat menghentikan
terjadinya pengrusakan.
2.
Upaya-upaya
penyelesaian masalah terkesan lambat karena beberapa faktor berikut :
- Berlarut-larutnya penanganan terhadap permasalahan Kateri akibat koordinasi yang belum optimal diantara pihak-pihak yang berkompeten.
- Mengingat kaitannya dengan masalah pengungsi, maka penanganan masalah Kateri semakin kompleks dan memerlukan keterlibatan berbagai pihak sehingga terhadap para pelaku yang merupakan pengungsi terkesan tidak ada tindakan hukum. Hal inilah yang merangsang timbulnya tindakan serupa oleh oknum masyarakat local.
- Jumlah tenaga pengamanan yang sangat tidak sesuai dengan luas kawasan serta tingkat kerawanan yang ada (di SM. Kateri ditempatkan 2 orang petugas) serta minimnya sarana/ prasarana penunjang, secara tidak langsung member peluang terjadinya kegiatan illegal dalam kawasan.
- Jarak yang jauh antara kawasan dengan kota kabupaten tempat pemrosesan kasus (Polres Belu dan Kejaksaan Negeri Belu), serta jumlah pelaku yang banyak, memerlukan waktu, biaya serta tenaga yang tidak sedikit.
- Minimnya dana penyelesaian kasus pada saat kejadian baru berlangsung, menyebabkan proses penyelesaian terhambat.
- Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat sekitar kawasan, terutama masyarakat pengungsi yang tingkat pemahamannya terhadap keberadaan kawasan masih sangat rendah merupakan salah satu faktor pendukung kerusakan kawasan.
- Sangat mendesaknya kebutuhan masyarakat pengungsi akan bahan pangan serta tempat tinggal, sementara bantuan dari pemerintah hanya diberikan dalam jangka waktu tertentu, mengakibatkan sangat besarnya tekanan terhadap kawasan hutan.
3. Upaya
penegakan hukum (law enforcement) dilakukan melalui penangkapan sebagian para
tersangka, memilah serta memprosesnya dipengadilan. Pada tahun 2001, 2002 dan
2003, telah berkali-kali dilakukan operasi pengamanan baik operasi-operasi
fungsional yang dilakukan secara khusus oleh petugas (Polhut) Dinas Kehutanan
Belu serta Balai KSDA NTT I maupun operasi yang bersifat gabungan dengan
melibatkan Polri maupun TNI. Pada bulan Juni hingga Agustus tahun 2002,
berhasil diproses setidaknya 32(tiga puluh dua) orang tersangka setelah
dilakukan pemeriksaan dan pemilahan calon tersangka.
4. Dengan
telah keluarnya seluruh warga perambah dari dalam kawasan SM. Kateri, (terakhir
pada bulan Januari 2004) yang merupakan rangkaian dari program resettlement,
kegiatan perambahan menyisakan kawasan yang rusak dan terbuka. Untuk
mengembalikan fungsinya sebagaimana telah ditetapkan, diperlukan upaya-upaya
rehabilitasi kawasan (restorasi
ekosistem). Pada tahun 2001, usulan pelanggaran rehabilitasi diajukan oleh tim
terpadu yang dalam hal ini dikoordinasikan oleh Dinas Kehutanan Propinsi NTT
kepada Biro Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Jenderal Departeman Kehutanan
belum memperoleh respon yang jelas.
5. Pada
bulan Maret 2003 serta Pebruari 2004 atas inisiatif tokoh agama (Paroki TTU dan
Belu) telah dilakukan salah satu upaya rehabilitasi melalui penanaman jenis
anakan mahoni, johar, nangka, mangga, bambu dll.
6. Melakukan
evaluasi penanaman dan perlindungan secara terus menerus dengan melibatkan
berbagai pihak seperti Dinas Kehutanan Kabupaten Belu, TNI, Polri dan
masyarakat sekitar kawasan hutan.
7. Melakukan
pembinaan daerah penyangga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
8. Dalam
upaya untuk melaksanakan rehabilitasi kawasan, dilakukan penjajakan kerjasama
dengan pihak LSM antara lain Lentera CIDEC dan Care InternationalIndonesia
(CII). Pada tanggal 1 Pebruari 2005,ditandatangani kesepakatan kerjasama antara
Balai KSDA NTT I dengan Care International Indonesia (CII) dalam kerangka
kerjasama rehabilitasi kerusakan serta pengembangan kawasan dan masyarakat
sekitar kawasan hutan konservasi di pulau Timor dan sekitarnya. Kegiatan yang
dilakukan adalah melaksanakan rehabilitasi kawasan dengan program padat karya
pangan (foot for work) bekerjasama dengan WFP. Masyarakat perambah dirangkul
untuk tidak lagi berladang jagung di dalam kawasan dengan cara dilibatkan dalam
kegiatan rehabilitasi dan diberikan insentif berupa beras. Tanaman yang
digunakan dalam kegiatan rehabilitasi adalah jenis asli setempat. Namun
kegiatan ini belum menunjukan hasil yang memuaskan mengingat setelah
berakhirnya program rehabilitasi yang berjalan selama 6(enam) bulan masyarakat
eks pengungsi tetap belum memiliki alternative usaha sehingga mereka tetap
melakukan perladangan di dalam kawasan.
Untuk mengetahui ketersediaan bibit di dalam kawasan (di
bawah tegakan yang masih baik) telah dilaksanakan kegiatan
infentarisasi/estimasi ketersediaan bibit alami di dalam kawasan SM. Kateri.
9. Sejalan
dengan upaya rehabilitasi secara fisik, upaya-upaya penyuluhan serta
sosialisasi kepada masyarakat berkaitan dengan pentingnya kelestarian sumber
daya alam hutan khususnya SM> Kateri terus dilaksanakan secara
berkesinambungan terutama kepada masyarakat yang memiliki potensi sebagai
sumber tekanan.
10. Pada tahun 2007, Balai KSDA NTT I
dari DIPA 69 menerima alokasi kegiatan rehabilitasi sejumlah 100 hektar dimana
50 hektar diantaranya diarahkan untuk melaksanakan kegiatan restorasi ekosistem
di SM. Kateri, sedangkan dari anggaran DIPA Gerhan 2007 murni, dialokasikan
anggaran rehabilitasi di SM. Kateri seluas 100 hektar.
Namun demikian, mengingat sebagian besar warga baru (eks
pengungsi) belum memiliki lahan garapan di luar kawasan hutan konservasi, maka
potensi hambatan pelaksanaan kegiatan diperkirakan masih sangat besar.
11.Upaya penyelesaian masalah di SM.
Kateri sesungguhnya banyak mendapat bantuan dan dukungandari pemda, tokoh
masyarakat dan tokoh agama di Kabupaten Belu. Namun akar permasalahan yang
menyebabkan terjadinya perambahan yakni menyediakan lahan / alternative usaha
bagi warga baru (eks pengungsi) hingga saat ini belum terselesaikan dengan
baik.
Upaya lain terkait dengan pengelolaan kawasan, BKSDA telah
menyusun Rencana Pengelolaan Kawasan, penyediaan sarana pengelolaan berupa
pondok kerja, kendaraan patrol serta petugas lapangan.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. KESIMPULAN
- Secara historis, budaya masyarakat Belu memiliki sejarah yang mendukung pelestarian kawasan hutan khususnya di Kateri.
- Permasalahan kerusakan kawasan SM. Kateri terjadi/merupakan salah satu dampak dari peristiwa politik pasca jajak pendapat di Timor Timur.
- Penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya perambahan adalah belum tertanganinya dengan optimal permasalahan penyediaan kebutuhan hidup warga eks pengungsi berupa lahan pemukiman yang terintegrasi dengan lahan pertanian sebagai sumber mata pencaharian.
B. SARAN
- Upaya rehabilitasi kawasan SM. Kateri harus didahului dengan upaya penyediaan lahan pengganti/alternative usaha bagi warga eks pengungsi sehingga diupayakan tidak ada lagi aktifitas perladangan di dalam kawasan.
- Perambahan di SM. Kateri merupakan permasalahan kompleks yang diakibatkan kebijakan politik secara nasional sehingga penanganannya perlu dilakukan secara nasional dan lintas sektoral.
3 comments:
Kami kemarin baru mengadakan kegiatan sosialisasi HTR di SM Kateri untuk warga eks Tim-Tim. Sedih melihatnya, karena sudah 14 tahun sejak perpisahan, masalah tidak selesai-selesai. Seharusnya ada keseriusan antar berbagai Kementerian terkait untuk menyelesaikan masalah ini. Saya pribadi berharap BPPHP IX Denpasar dengan BBKSDA NTT terus bisa bersinergi untuk mengatasi masalah ini. Monggo kita utik-utik Dirjen kita untuk mengingat warga eks Tim-Tim.
Salam
Neny BPPHP IX Denpasar
Semoga Kabupaten Belu, Dan Malaka Yang Sudah Berdiri sendri,Bekerja Samalah Bersama BBKSDA Propinsi NTT,menyampaikan kepada kementrian pusat,Untuk mengatasi masalah kerusakan ini perlu di perhatikan terutama seluruh kawasan hutan di NTT,jangan membiarkan pertambangan meraja lelah,memang dapat meningkatkan devisa APBD,Tetapi Berpikir Kedepan bapak2/Ibu pimpinan,generasi2 penerus............Kami Sebagai Mahasiswa Kehutanan Walaupun Masih Dalam Proses Perjuangan Sangat Peduli.........Pesan Khusus Untuk Kabupaten Malaka Rawan Banjir Tolong Perhatikan Kawasan Hutan Selatan......
Saya sependapat bahwa masalah Hutan tidak ditangani dengan serius, pemerintah setempat seperti tidak tertarik untuk mengurus masalah ini. Sangat diharapkan agar dicarikan jalan keluar secepatnya sebelum terlambat. Saya sebagai aktivis pencinta alam sangat sedih hutan yang sudah ratusan dirusak hanya dalam sekejap. Mohon perhatian semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini.
Posting Komentar